Risalah Pandan Indonesia



     Pandan adalah tumbuhan anggota famili Pandanaceae. Terdapat 4 genus yakni, Freycinetia, Pandanus, Sararanga, dan Martellidendron bernaung di bawah famili pandan-pandanan. Tiga genus yang disebut pertama hidup di Indonesia, terutama wilayah timur seperti Papua dan Maluku. Genus yang disebut terakhir hanya ditemukan di Madagaskar dan Seychalles.
  Genus pandanus mempunyai keanekaragaman jenis tertinggi, yakni kira-kira 700 spesies. Dari jumlah itu, lebih dari 100 spesies ditemukan di Papua; 60 spesies di Kalimantan, 20 spesies di Maluku. Itulah sebabnya kedudukan Indonesia istimewa karena tingginya biodiversitas pandan sekaligus ditenggarai sebagai daerah asal beberapa spesies. Beberapa spesies yang diduga asli Indonesia adalah pandan wangi {Pandanus amaryllifolius} dan buah merah {Pandanus conoideus} yang pertama kali ditemukan oleh Georgius Everhardus Rumphius saat usianya 16 tahun pada 1743.




  Sementara genus Freycinetia merupakan pandan merambat dan terdiri atas 200 spesies. Papua menyimpan 60 spesies; Kalimantan 30 spesies, dan Maluku 10 spesies. Bandingkan dengan sebaran di Malaysia dan Filipina yang Cuma 10 dan 24 spesies. Pemanfaatan anggota genus itu masih minim. Melihat sosoknya yang elook, freycinetia berpotensi menjadi tanaman hias.
  Sararanga adalah salah satunya dan pertama kali diperkenalkan oleh peneliti Inggris bernama William Botting Hemsley. Pria kelahiran Sussex, Inggris, 29 Desembehttp://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2246329075982194517#editor/target=post;postID=4600211403887565425r 1843 itu menemukan sararanga sinuosa  di kepulauan Solomon. Spesies lain, Sararanga philippinensis hidup di Filipina. Genus sararanga memang hanya terdiri dari 2 spesies. Genus martellidendron terdiri atas 7 spesies seperti Martellidendron androchepalantos dan Martellidendron karaka.
  Dari ke-4 genus itu total jendral tanaman anggota famili pandanaceae terdiri atas 909 spesies yang multi manfaat. Kegunaan pandan antara lain sebagai bahan pangan, penyedap masakan, bahan kerajinan, ritual, dan obat tradisional. Oleh karena itu pandan mempunyai nilai penting bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ironisnya kajian tentang pandan sangat minim. Bayangkan risalah lengkap soal pandan pertama kali ditulis oleh Otto Heinrich Warburg pada 1900 ketika usianya  belia, 17 tahun.
  Sejak penerbitan monograf itu praktis tak ada risalah tentang pandan. Itulah sebabnya Pusat Penelitian Biologi LIPI mengeksplorsi pandan di 5 provinsi dalam beberapa tahun terakhir. Dalam eksplorasi itu tim menemukan jenis-jenis baru yang masih diidentifikasi dan rekaman baru –jenis lama yang sebelumnya tak pernah ada laporan ditemukan di suatu lokasi.
  Di berbagai daerah itu pandan tak dapat dipisahakan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat Halmahera, Kebumen, dan Lamongan memanfaatkan daun pandan sebagai bahan baku tikar, tas dan topi. Tentu tak semua pandan cocok dijadikan   bahan  baku tikar. Jenis yang paling pas adalah Pandanus tectorius, Pandanus dubius, dan Pandanus papuanus. Meski sepanjang tepian daun berduri, tetapi bertekstur lentur, tak mudah patah. Sementara masyarakat Galela menggunakan daun pandan besar Pandanus papuanus sebagai pembungkus jenaza. Jika mereka mempertahankan trdisi itu, secara tak langsung mereka juga melakukan konservasi tehadap pandan besar. Sebab mereka akan berupaya keras menjaga keberadaan tanaman itu.



Penduduk Tidore lazim menggunakan pandan lamo {Pandanus amaryllifolius} atau pandan wangi utuk ziarah kubur. Karena itu semua pekarangan rumah ditanamai pandan wangi yang dulu bernama ilmiah Pandanus latifolius. Selain itu pandan wangi juga dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai obat rematik dengan cara mencampurkan potongan daun pandan itu dengan minyak kelapa. Lazimnya digunakan untuk mengobati rematik.
  Pandan wangi bukan satu-satunya yang berkhasiat obat. Spesies lain yang terkenal sebagai obat adalah buah merah {Pandanus conoideus}  yang memiliki variasi bentuk hingga 36. Buah merah terbukti mengandung antioksidan tinggi. Jenis lain yang biasa dimanfaakan sebagai penawar sakit adalah buro-buro koya alias Pandanus dubius  dan kulewe kokoa atau Pandanus papuanus. Masyarakat Tidore memanfaatkan umbut atau titik tumbuh kedua pandan itu sebagai penawar racun ular, serangga, serta berbagai ikan serta bulu babi dan pari. Umbut pandan itu dihancurkan dan di torehkan diatas bekas sengatan ular atau serangga.
  Akar yang menopang pohon Pandanus dubius  dan Pandanus papuanus itu oleh masyarakat Papua dimanfaatkan sebagai bahan serat yang mengkilap dan kuat. Pengambilan akar tidak akan mengganggu pertumbuhan pohon. Masyarakat Tabati dan Engros memanfaatkan serat itu sebagai bahan jala dan tali pancing  yang mampu bertahan hingga 3 tahun.

  Adapula pandan-pandan yang lazim sebagai bahan pangan. Selain buah merah, spesies yang kerap dimanfaatkan untuk bahan makanan adalah pandan kelapa {Pandanus brosimos},  pandan {Pandanus julianettii}, dan pandanus iwen. Buah pandan-pandan itu dibakar dan dinikmati seperti kacang. Kayari {sararanga sinuosa}  dan raintui {Pandanus kraulianus} juga beberapa jenis pandan yang buahnya dapat dikonsumsi. Daging buah pandan pandanus tectorius  bagi masyarakat Halmahera ibarat kacang kenari yang lezat. Merka menikmatinya saat berkumpul ditepi pantai. Namun, yang membuka mata kita betapa pandan yang kita remehkan itu ternyata multimanfaat.
(Trubus, No.455-Oktober 2007/XXXVIII)

Comments

Popular Posts