Skip to main content

Badak Sumatera, Berada di Ujung Cula



 “Taman Nasional Gunung Leuser-Situs Warisan Dunia-Terancam Kelestariannya : Solusi dan Pemecahannya”
By : Ferry Aulia Hawari

“Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Berada di Ujung Cula”

            Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu situs warisan alam dunia terbesar yang dimiliki oleh Indonesia. Dengan luas kawasan 1.094.692 Ha dan terdapat di dua provinsi yaitu Sumatera Utara dan Aceh, hutan TNGL memberikan manfaat yang sangat besar bagi dunia. Selain memiliki keindahan alam, kekayaan flora, juga menjadi rumah bagi berbagai spesies hewan endemik Sumatera. Hewan-hewan tersebut antara lain Orang Utan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Namun sayangnya, semua hewan tersebut kini berada di daftar “merah” CITES (International Union for Conservation of Nature) yang berarti semua hewan tersebut berada diambang kepunahan bila tidak segera dilakukan kegiatan konservasi.
            Permasalahan serius yang sebenarnya kini tengah dihadapai adalah kerusakan habitat hewan-hewan endemik sumatera ini. Penebangan liar, pembangunan yang tidak terencana dengan baik, batas wilayah yang tidak jelas antara wilayah hutan dan perkebunan, dan alih fungsi lahan menjadi areal perkebunan merupakan permasalahan yang banyak terjadi di wilayah hutan Indonesia. Daerah pembatas atau Buffer Zone yang sempit serta hanya terdapat di areal-areal tertentu menjadikan konflik antara satwa liar dan manusia tidak dapat terhindarkan.
            Untuk mengurangi rusaknya hutan lebih lanjut kegiatan pemulihan hutan harus dilakukan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Mekanisme pemulihan hutan antara lain dengan melakukan rehabilitasi melalui penanaman atau pengkayaan jenis dengan jenis tanaman asli atau pernah tumbuh secara alami di lokasi tersebut, dan melakukan kegiatan restorasi yang dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain. Tentu saja semua kegiatan ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh dinas atau instansi terkait, semua pihak harus sadar dan terlibat dalam melakukan perbaikan bagi lingkungan.
            Perlindungan dan pelestarian lingkungan bukan hanya diperuntukkan bagi hutan saja, tetapi juga bagi satwa yang ada didalamnya seperti badak. Tahun Badak Internasional 2012 menjadi tahun yang cukup membanggakan bagi dunia badak Indonesia. Karena di tahun ini telah lahir seekor anak Badak Sumatera hasil penangkaran yang pertama di Indonesia setelah 124 tahun upaya penangkaran. Badak ini lahir dari indukan bernama Ratu dan Andalas di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung pada tanggal 23 Juni 2012 dan diberi nama “Andatu”. Di tahun ini juga ditemukan foto Badak Sumatera di alam liar dari hasil pemantauan perangkap kamera (camera trap) yang dilakukan oleh Yayasan Leuser Internasional (YLI) di kawasan hutan Aceh Selatan. Badak Sumatera tidak terlihat di Taman Nasional Gunung Leuser sejak 26 tahun lalu. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan Badak Sumatera di hutan TNGL masih ada dan memerlukan perhatian khusus untuk melestarikan badak dan ekosistemnya.
            Badak Sumatera adalah satu-satunya badak Asia yang memiliki dua cula. Berbeda dengan Badak Jawa yang hanya berbulu di bagian telinga dan ujung ekornya saja, Badak Sumatera berbulu hampir di seluruh bagian tubuhnya. Tak heran jika ia dijuluki hairy rhino (badak berambut). Ukuran fisiknya juga tergolong yang paling kecil dibandingkan spesies badak lainnya. Bobot tubuhnya tidak lebih dari satu ton dan tinggi tubuhnya pun dibawah 150 cm. Berbicara mengenai lokasi sebaran Badak Sumatera, kini jumlahnya pun kian berkurang. Sebagai perbandingan, berdasarkan catatan pada awal Strategi Konservasi Badak Indonesia pada tahun 1994, di Pulau Sumatera terdapat 17 lokasi kantong badak. Kini, jumlah kantong Badak Sumatera hanya tersisa tiga kantong utama yakni di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambar, dan Taman Nasional Leuseur. Padahal di beberapa dekade sebelumnya, Badak Sumatera hampir tersebar di seluruh daratan Sumatera.
            Dari data yang dipaparkan, bahwa jumlah Badak Sumatera kini hanya berkisar 200 ekor di alam. Angka ini sangat sedikit bila dibandingkan dengan luas hutan TNGL yang menjadi habitat Badak Sumatera. Populasi ini bahkan diperkirakan akan berkurang 25 persen dalam masa satu generasi ke depan (panjang satu generasi sekitar 20 tahun). Badak memang hewan yang sangat sensitif, sehingga sangat sulit untuk ditangkarkan dan diamati keberadaannya di alam bebas. Maraknya praktik perburuan badak ditengarai sebagai salah satu penyebab semakin berkurangnya populasi spesies ini. Cula maupun bagian-bagian tubuh badak lainnya diburu karena dipercaya ampuh untuk bahan obat tradisional, Bahkan sebagian masyarakat setempat ada pula yang menjadikan cula badak untuk pajangan rumah.
            Perburuan rusa atau babi hutan dengan memasang jerat yang dilakukan oleh masyarakat disekitar kawasan hutan yang terdapat badak didalamnya terkadang juga menyebabkan badak terjerat dengan tidak senganja, sehingga dapat menyebabkan badak terluka hingga mati. Ekosistem TNGL yang semakin lama semakin rusak dan terancam oleh pembangunan dan kerusakan hutan menambah buruk kondisi badak. Karena itu, menjaga kelestarian kawasan TNGL dengan penyuluhan dan tindakan langsung menjadi salah satu upaya dasar yang harus dilakukan dalam menjaga warisan alam Sumatera dan melestarikan hewan-hewan endemik yang ada didalamnya.
            Walaupun di alam badak tidak memiliki pemangsa, namun dengan habitatnya yang terus menyempit, perburuan liar, banyaknya jerat pemburu, dan penangkarannya yang sangat sulit menjadikan badak bagai berada di “ujung cula”. Kini kondisi Badak Sumatera berada di garis terdepan kepunahan. Selain upaya penangkaran dan perbaikan habitat badak yang terus dilakukan, diperlukan tindakan tegas dalam menindak pihak-pihak yang terbukti melakukan perusakan habitat dan perburuan Badak Sumatera.
            Andai saja ketetapan-ketetapan yang tercantum pada Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dapat direalisasikan dan diterapkan di lapangan, pasti akan menimbulkan efek jera bagi para pihak yang melakukan tindakan pengerusakan hutan dan perburuan liar.
            Dalam undang-undang no. 5 tahun 1990 pasal 21 menjelaskan bahwa :
(1) Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,  mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
            Bagi siapa saja yang melanggar ketentuan di atas menurut undang-undang no.5 tahun 1990 pasal 40 akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp. 100.000.000 bagi siapa yang dengan sengaja melakukan pelanggaran pasal 21 dan bagi yang lalai akan dikenakan denda sebesar Rp. 50.000.000 dikenakan pidana kurungan penjara paling lama 1 tahun.
            Hukuman ini masih terlalu ringan dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkannya. Bandingkan saja, merusak habitat satwa dan membunuh satu ekor badak yang merupakan karunia tuhan yang tidak ternilai harganya hanya dihukum dengan 5 tahun penjara dan denda hanya Rp. 100.000.000. Sungguh harga yang sangat tidak sesuai. Wajar saja bila tidak menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Seharusnya hukuman yang diberikan dapat menimbulkan efek jera hingga kejadian serupa tidak terulang.
            Kini kita hanya dapat berharap waktu akan memberi jawab terbaik tentang masa depan Badak Sumatera dan habitatnya setelah semua usaha keras yang dilakukan oleh berbagai pihak yang perduli. Semoga saja penangkaran badak mampu melahirkan generasi baru dan populasi badak di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser terus meningkat walau harus bersaing dengan laju degradasi dan deforestasi. Walaupun kini keberadaan Badak Sumatera berada di “ujung cula”, kita tetap berharap dan berusaha cula badak tetap dapat kita lihat merekat di ujung kepala badak di kawasan Taman Nasional Gunung Lueser dan di kawasan-kawasan Indonesia lainnya.

Comments

Popular Posts