Hutan Pasca pemanenan (Buku)



Resume Buku "Hutan Pasca Pemanenan"
Judul : Hutan Pasca Pemanenan; Melindungi satwa liar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimantan
Penerbit : CIFOR (Center for International Forestry Research)
Tahun Terbit : 2006 
Hak Cipta : CIFOR, UNESCO, dan ITTO
Dicetak Oleh : SUBUR Printing, Jakarta.


Buku ini menawarkan peluang yang penting bagi Departemen Kehutanan serta semua pihak yang terkait dengan pengusahaan hutan produksi, untuk melaksanakan pengelolaan hutan yang lebih baik. Buku ini disusun berdasarkan pemahaman yang mendalam mengenai dampak aktivitas kehutanan terhadap berbagai kehidupan di dalam ekosistem hutan sehingga dapat dijadikan acuan dalam mengelola hutan produksi, termasuk contoh yang menggambarkan pengelolaan hutan produksi secara lestari, dengan tetap biasa.
Penebangan kayu di hutan hujan tropis memiliki citra yang buruk dalam pandangan publik. Penebangan kayu bagi industri sering dikaitkan dengan pembersihan lahan bagi kegiatan pertanian atau perkebunan. Hak masyarakat setempat sering kali diabaikan oleh pihak yang memanen kayu. Korupsi dan tindak kekerasan sering dikaitkan dengan kegiatan penebangan kayu. Kegiatan penebangan kayu sering disamakan dengan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, bahkan oleh pihak yang memiliki pemahaman yang baik sekali pun. Reaksi umum yang diberikan oleh komunitas konservasi adalah menolak kegiatan penebangan.
Namun demikian, pengakuan bahwa hutan bekas tebangan memiliki nilai konservasi tidak berarti bahwa hutan Borneo yang tersisa boleh dipanen kayunya. Daerah yang dilindungi secara ketat masih memiliki nilai penting bagi spesies yang hidup di hutan pedalaman. Pengelolaan yang efektif baik bagi hutan lindung maupun hutan bekas tebangan masih menjadi kunci bagi keberhasilan konservasi dan hal ini harus didasari oleh pemahaman tentang ekologi hutan.
Salah satu masalah yang retorik mengenai konservasi keanekaragaman hayati yang belum terjawab adalah keanekaragaman hayati yang mana yang harus
dikonservasi dan mengapa. Banyak upaya konservasi yang nampaknya hanya dibuat karena keinginan untuk mengkonservasi sebanyak mungkin keanekaragaman hayati, tidak peduli apapun konsekuensinya bagi masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada hutan. Argumentasi dan alasan pentingnya keanekaragaman hayati bagi fungsi ekologis seringkali membesar-besarkan masalah potensi risiko kepunahan spesies. Buku ini membantu menyediakan kerangka dasar/acuan bagi program konservasi dan pengelolaan hutan. Buku ini juga menunjukkan tentang perlunya pemahaman aspek ekologi hutan dan individu species agar program yang rasional bisa dilaksanakan. Hal ini dapat membantu menjawab pertanyaan tentang apa yang akan terjadi apabila pembangunan yang tidak terbatas dibiarkan saja.
            Buku ini juga menyajikan fakta yang menarik tentang dampak terganggunya hutan terhadap kondisi satwa yang terdapat di dalamnya. Penyampainya lebih menarik lagi karena disampaikan dengan metode penelitian dan gaya bahsa yang ringan. Seperti misalnya ; Namun demikian, atribut dan kategori yang digunakan sedikit banyak dapat mewakili sebagian besar cara pembedaan vertebrata secara ekologis dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola kerentanan spesies secara umum. Kami membuat daftar rinci atribut biologis dan ekologis bagi masing-masing spesies yang dapat meningkatkan atau menurunkan kerentanannya terhadap dampak kegiatan hutan (Lampiran 4-7), misalnya hal-hal yang menimbulkan kemungkinan perubahan dalam kepunahan lokal. Daftar ini mencakup kategori yang luas sebagai berikut:
1. Wilayah sebaran secara umum — Spesies dengan wilayah sebaran geografis yang kecil lebih rentan terhadap gangguan bila wilayah sebaran geografisnya berkolerasi dengan habitat yang khas (lihat Harcourt et al. 2002), karena besarnya kemungkinan bahwa intervensi kegiatan kehutanan akan memberikan dampak negatif bagi relung ekologi yang memang sudah sempit;
2. Status dan kepadatan populasi di Borneo — Spesies-spesies yang umum mungkin tidak terancam oleh kegiatan penebangan dibandingkan dengan spesies langka dengan penyebaran yang terbatas. Namun, korelasi ini belum pasti karena keberadaan populasi tersebut tidak hanya bergantung dari kelimpahan spesies tersebut (Gaston et al. 2000). Kepadatan populasi dapat digunakan sebagai ukuran tidak langsung dari besarnya populasi;
3. Habitat — Habitat termasuk didalamnya tingkat kompleksitas struktur hutan serta stratifikasi vertikal, yang secara kasar menjadi indikasi kemampuan atau kecenderungan satwa terestrial untuk melintasi lahan terbuka, meskipun tutupan lahan dan keberadaan tempat berlindung juga penting. Spesies arboreal memiliki risiko yang lebih tinggi jika hutan lebih terbuka dan terfragmentasi (Laurance & Laurance 1996). Aspek penting lainnya dari parameter habitat adalah pengetahuan mengenai distribusi satwa berdasarkan ketinggian serta tipe vegetasi yang diperlukan spesies tersebut untuk kelangsungan hidupnya atau untuk berkembang biak;
4. Pergerakan — Wilayah jelajah merupakan indikasi kebutuhan wilayah dari satwa tertentu. Spesies yang bermigrasi umumnya memiliki wilayah jelajah yang sangat luas. Penentu ekologisnya biasanya adalah makanan. Namun faktor lain seperti tempat bersarang, dapat menjadi penentu pula termasuk kemampuan spesies untuk bermigrasi. Di antara kelompok satwa yang diteliti menunjukkan pola migrasi musiman dan pergerakan harian;
5. Ekologi pakan — Hampir seluruh aspek biologis satwa terkait dengan apa yang dimakannya. Spesies dengan sumber pakan yang tersebar serta langka bisa lebih terancam keberadaannya jika pasokan pakan tersebut terganggu. Hal yang sama juga berlaku bagi spesies spesialis (specialist), kecuali spesies spesialis tersebut menduduki wilayah jelajah yang lebih kecil dibandingkan dengan spesies generalis (Harris 1984). Tidak seperti kelompok spesies lainnya, ekologi pakan rangkong dan primata sudah banyak diketahui dan dipelajari;
6. Ekologi perkembangbiakan — Ada kaitan yang jelas antara ekologi perkembangbiakan dan risiko kepunahan (lihat Fagan et al. 2001, Jonsson & Ebenman 2001). Spesies dengan perkembangbiakan lambat serta reproduksi awal pada umur yang relatif tua paling rentan terhadap turunnya populasi secara drastis. Hanya sedikit saja taxa yang terwakili dalam studi ini yang ekologi perkembangbiakannya telah diteliti dengan baik seperti rangkong, kelelawar buah, dan primata. Pengetahuan ekologi perkembangbiakan kelompok spesies lainnya sangatlah kurang, kecuali telur dan anakan spesies amfibia tertentu yang dalam persyaratan ekologisnya memiliki perbedaan mencolok dengan amfibia dewasa. Persyaratan ini dapat mengidentifikasi elemen karakter habitat yang rentan terhadap intervensi;
7. Degradasi dan hilangnya habitat — Dampak dari konversi habitat tidak sama bagi setiap kelompok spesies yang diteliti. Sebagian spesies mendapat manfaat dari gangguan terhadap habitat, sementara spesies lainnya lebih rentan. Untuk menentukan variabel terbaik yang dapat menduga kepekaan spesies terhadap penebangan dan pengaruh lain yang terkait, kami memilih spesies yang memiliki informasi lengkap mencakup variabel ekologi, sejarah hidup, dan respons terhadap pengaruh penebangan dan fragmentasi tutupan hutan. Kami menganalisis variabel sejarah kehidupan spesies tersebut menggunakan analisis multivariat untuk mencari variabel yang dapat menjelaskan tingkat perbedaan kepekaan terhadap penebangan. Metode analisis ini secara rinci dapat dilihat pada bagian berikut ini.

Mitigasi Damapak Yang Ditimbulkan
Kajian dalam Bagian I dan analisis dalam Bagian II menunjukkan bahwa berbagai spesies satwa liar secara ekologis dan tidak langsung dipengaruhi oleh kegiatan tebang pilih dan kegiatan lain yang langsung terkait. Demikian juga halnya dengan fragmentasi hutan, perburuan, dan tekanan-tekanan lainnya yang secara nyata/serius dapat merupakan ancaman. Walaupun kegiatan pemanenan kayu dapat diperbaiki melalui berbagai cara, memelihara konektivitas hutan, mengatur pola perburuan, dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan ancaman terhadap satwa liar yang lebih luas merupakan tantangan dan kewajiban baru.
Buku ini mungkin tidak akan dapat memberikan solusi yang optimum, namun paling tidak, buku ini dapat memberikan indikasi bagian mana dan bidang apa yang dapat dibenahi. Meskipun kami telah menjelaskan dasar perubahan yang dapat dilakukan pada bagian awal buku ini, kami juga memberikan gambaran singkat alasan-alasan penting dari usulan-usulan yang dikemukakan (disarankan). Hal yang demikian tidak hanya membuka peluang untuk memberi kritik pada usulan-usulan yang kurang tepat pada kondisi/situasi tertentu, atau ketika pemikiran dan pemahaman berubah, bahkan yang terpenting adalah memastikan bahwa pihak yang berupaya membenahi aspek tertentu dari pengelolaan dapat dengan mudah mendapatkan arahan yang diperlukan ini tanpa harus membaca seluruh isi dokumen.
Ada sejumlah tantangan dalam pengembangan peraturan yang dapat menjembatani antara kegiatan pemanenan kayu dan konservasi. Sebagai contoh, kita dapat memahami bahwa diperlukan suatu kendali dan batasan yang jelas. Namun, apa pun definisi dan istilah yang diusulkan sering mencerminkan adanya kompromi, yaitu ambang batas suatu rentang trade off. Contohnya mengapa kegiatan penebangan dilakukan pada pohon dengan diameter lebih dari 60 cm (bukan 65 cm atau 55 cm)? Atau hanya membatasi penebangan kayu di sungai dengan lebar lebih dari 1 m, atau pada kelerengan lebih dari 50%. Peraturan memang harus jelas, namun dalam jangka panjang, yang lebih penting adalah pemahaman dan makna peraturan tersebut bagi yang akan menjalankannya. Hal penting lainnya adalah memastikan bahwa peraturan tersebut tercermin dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Banyak kriteria yang kami ajukan dikembangkan dari pemikiran penulis dengan mempertimbangkan hasil diskusi dan konsultasi dengan para praktisi dan pakar dalam pengelolaan kehutanan.
Sebagian pembaca buku ini mungkin menganggap usulan-usulan kami hanya sebagai daftar usulan yang diinginkan saja. Memang betul daftar ini merupakan sesuatu yang diidamkan, tetapi daftar ini merupakan daftar usulan yang bersifat pragmatis. Kajian dan melanjutkan pengumpulan data selalu diperlukan, peraturan akan dapat diperbaiki atau disesuaikan, dan rincian dari perubahan apa saja dapat menjadi bahan diskusi yang tak habis-habisnya. Namun bila kita sudah memiliki pengetahuan apa yang buruk bagi keberadaan hidupan liar dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya, mengapa harus menunggu? Tidak semua hal dapat ditetapkan oleh peraturan dan perundangan karena pengelolaan selalu dihadapkan pada penetapan prioritas yang bertentangan satu sama lain, pemahaman masyarakat setempat dan adanya inovasi baru.
Dengan demikian diperlukan visi yang jelas. Tujuan utama kami adalah: 1) untuk mempertahankan bentang alam hutan yang cukup luas dan saling terkait (termasuk areal yang tidak ditebang) yang mengandung tipe-tipe hutan asli seutuh mungkin dan memelihara elemen-elemen bentang alam yang penting dan satwa liar yang ada di dalamnya; 2) mengidentifikasi ancaman-ancaman utama terhadap kehidupansatwa liar dalam bentang alam tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi ancaman tersebut.
Bagaimana temuan kami dapat diterjemahkan ke dalam usulan-usulan praktis bagi pihak yang sehari-harinya berhubungan dengan kegiatan kehutanan dan masalah hidupan liar? Ada tiga kelompok utama stakeholders yang kami soroti:
1. Pengelola konsesi hutan (HPH)
2. Pemerintah dan badan yang berwenang dalam pengaturan
3. Peneliti dan ahli biologi konservasi

Perencanaan untuk kegiatan konservasi
• Setiap kawasan lindung harus digambarkan batas-batasnya secara jelas dalam peta penebangan hutan untuk setiap areal konsesi dan batas-batas tersebut harus terlihat secara jelas di lapangan (wajib). Hal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya pergeseran batas dan perubahan luas kawasan lindung di sekitar areal konsesi dan terjadinya penebangan, sementara di atas kertas kawasan tersebut masih dalam status dilindungi (hal ini terjadi dalam kawasan lindung di Kalimantan Timur dan di Virgin Jungle Reserve di Semenanjung Malaysia (Wildlife Conservation Society (WCS) & Departemen Kehutanan Sarawak (Sarawak Forest Department) 1996, Rijksen & Meijaard 1999);
• Habitat untuk spesies yang dilindungi harus dikelola sedemikian rupa dengan mencegah kegiatan-kegiatan yang merugikan bagi keberadaan dan kemampuannya untuk bertahan. Hal ini secara jelas memerlukan pendekatan yang seimbang, yaitu dengan prosedur perencanaan yang mengkaji spesies mana yang menjadi prioritas dalam wilayah konsesi tertentu, dan bagaimana keberadaan spesies tersebut dapat dilindungi dalam jangka panjang. Prosedur ini harus dievaluasi secara teratur dan menambahkan informasi baru serta melakukan pendugaan faktor risiko bagi spesies tertentu. (sangat dianjurkan);
• Untuk beberapa konsesi mungkin perlu ditetapkan untuk mencapai tujuan keanekaragaman hayati berhubungan dengan nilai-nilai khusus lokasi-lokasi tertentu di dalam areal konsesi Contohnya kawasan konsesi tertentu memiliki jumlah spesies langka yang tinggi, dan pengelolaannya mensyaratkan perlindungan habitat serta mengurangi ancaman yang terkait terhadap spesies tersebut (dianjurkan);
• Jika direncanakan konservasi untuk spesies-spesies tertentu, maka sebelum kegiatan penebangan dilakukan harus dipertimbangkan bersama pengelolaan khusus untuk spesies tersebut, bimbingan/arahan ahli, pengetahuan lokal dan penelitian ekologis kaitannya dengan perlindungan dari spesies yang lain (sangat dianjurkan);
• Membangun dan memelihara basis data dalam bentuk catatan atau SIG untuk memantau keberadaan spesies prioritas (lihat bagian yang menjelaskan pengelolaan yang spesifik bagi spesies tertentu di bawah ini) dan persyaratan ekologisnya yang penting (wilayah penggembalaan ternak, mata air mineral, dan sebagainya) (dianjurkan);
• Setidaknya 10% dari luasan daerah hutan komersial harus dilindungi sebagai penghubung antara kelompok-kelompok hutan yang tidak ditebang sehingga dapat berfungsi sebagai daerah perlindungan sementara, yang kemudian akan menjadi tempat bagi spesies untuk menempati kembali daerah di sekelilingnya (Fimbel et al. 1998) (sangat dianjurkan). Harus pula diperhatikan bahwa meskipun hutan dataran rendah sering merupakan sumber kayu komersial bernilai tinggi, daerah ini juga merupakan habitat satwa liar yang sangat penting dan sebagian dari wilayah ini harus disisakan sebagai wilayah yang tidak ditebang (sangat dianjurkan);
• Daerah bebatuan (umumnya kapur) dan gua merupakan daerah yang rentan terutama bila digunakan untuk bahan pembuatan jalan dan penggalian/ penambangan. Di Malinau, beberapa daerah perbukitan kapur dan gua telah rusak karena adanya pembangunan jalan. Identifikasi daerah penting yang rentan ini untuk dilindungi harus memberikan dasar yang kuat bagi pengembangan daerah perlindungan dalam bentang alam hutan luas serta identifikasi ini harus dilakukan sebelum kegiatan penebangan dilakukan (sangat dianjurkan);
• Areal-areal tebangan tahunan yang tersebar di seluruh hutan dapat membantu regenerasi hutan dan migrasi satwa liar yang terganggu oleh kegiatan penebangan (DFID 1999), meskipun upaya ini akan mempersulit perencanaan jalan dan pengawasan (dianjurkan).

Comments

Popular Posts