Lembaran Baru Kayu Indonesia (SVLK)
Lembaran Baru Kayu Indonesia
(Sistem Verifikasi Legalitas Kayu / SVLK)
Indonesia dengan hutannya masih cukup luas walaupun laju degradasinya semakin cepat masih mampu menjadi produsen kayu bagi beberapa negara terutama negara-negara maju, walaupun sebagian besar adalah kayu ilegal. Dengan maraknya isu pemanasan global dan anggapan bahwa ilegal logging sebagai penyebab utamanya, menjadikan negara-negara maju yang sebenarnya penyumbang polusi terbesar membuat kebijakan untuk mengurangi ilegal logging dengan hanya menerima kayu-kayu legal atau bersertifikasi.
Indonesia sebagai negara produsen kayu, baik dalam bentuk log maupun bentuk mabel tentu saja ingin memasarkan produknya secara legal dan mampu menembus negara-negara maju yang cerewet tentang produk-produk dari alam harus tersertifikasi. Hal ini lah yang mendorong Indonesia khususnya Kementrian Kehutanan mengeluarkan sistem sertifikasi kayu agar semua produk kayu yang berasal dari Indonesia berstatus hijau.
SVLK (Sistem Verifikasi Lagalitas Kayu) yang di buat dan diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan melalui peraturan Mentri Kehutanan No. P38 pada Juni 2009 tentang standar penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi dan verifikasi legalitas kayu dan diperbaharui dengan P68 tahun 2011. Perjalanan terciptanya peraturan ini cukup panjang karena telah melewati tiga jabatan mentri Kehutanan yaitu Muhammad Prakosa, MS Kaban dan kini Zulkifli Hasan.
Begitu banyak kriteria dan indikator yang harus dipenuhi, sehingga belakangan ada pendekatan secara bertahap dan dalam konteks SVLK, legelitas kayu masih tahap pertama dari seluruh sertifikasi hutan lestari. Sebelum ada sertifikasi kayu sah, Indonesia memang telah menerapkan sertifikasi pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHPL) sejak 2002 dan hutan tanaman pada 2003. Namun sertifikasi ini tidak begitu berkembang. Menilai aspek keabsahan kayu, SVLK berbeda dengan sertifikasi sukarela dari tuntutan pasar. Terdapat dua mazhab sertikasi, pertama, sertifikasi yang menekan pada kepatuhan tata aturan. Kedua, sertifikasi sukarela dari tuntutan pasar. SVLK termasuk dalam mazhab yang pertama, sementara seperti FSC (Forest Stewardship Council) atau LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) merupakan sertifikasi tuntutan pasar.
Kayu yang telah diberi barcode biru yang jika dipindai akan terlihat data jenis kayu, asal-usulnya, areal tebangnya, dan setoran pajak
Diah Raharjo, Direktur Multistakeholder Forestry Program (MFP),
menyatakan, semua perusahaan kehutanan dan industri wajib memenuhi semua
syarat sertifikasi SVLK. “Kini SVLK bersifat wajib. Sampai sekarang
sudah ada 157 perusahaan kehutanan yang telah besertifikat SVLK dari
sekitar 300 perusahaan yang ada,” lanjut Diah.
Jika tak ada halangan, menurut Diah, pada Maret 2012 akan dilakukan uji pengiriman produk berbahan kayu yang telah bersertifikat ke Uni Eropa. “Kami juga mendorong 27 negara Uni Eropa untuk tidak menerima kayu ilegal.” Uji pengapalan itu merupakan salah satu rangkaian untuk menyiapkan berlakunya ekspor produk kayu legal pada 2013 secara serentak. Sejak itu, hanya kayu legal yang bisa memasuki pasar Uni Eropa. “Jepang, Australia, dan Amerika Serikat juga sudah mulai membuat peraturan yang sama,” ujar Diah.
Jika tak ada halangan, menurut Diah, pada Maret 2012 akan dilakukan uji pengiriman produk berbahan kayu yang telah bersertifikat ke Uni Eropa. “Kami juga mendorong 27 negara Uni Eropa untuk tidak menerima kayu ilegal.” Uji pengapalan itu merupakan salah satu rangkaian untuk menyiapkan berlakunya ekspor produk kayu legal pada 2013 secara serentak. Sejak itu, hanya kayu legal yang bisa memasuki pasar Uni Eropa. “Jepang, Australia, dan Amerika Serikat juga sudah mulai membuat peraturan yang sama,” ujar Diah.
Kayu yang telah memeperoleh sertifikat akan disertai Dokumen V-Legal yang merupakan lisensi ekspor kayu yang telah tersertifikasi dan dikeluarkan oleh lembaga yang memverifikasi industri yang bersangkutan. Dokumen diterbitkan setiap ada invoice bagi ekspor terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK) yang telah bersertifikasi legal. Bila belum bersertifikat, lembaga verifikasi akan menginfeksi agar produknya dapat diekspor.
Logo V-Legal yang akan tertera pada kayu tersertifikasi
Semoga dengan adanya SVLK dan meningkatnya kepedulian berbagai pihak terhadap pentingnya menjaga lingkungan mampu mengurangi dampak kerusakana lingkungan, khususnya hutan Indonesia serta Indonesia tidak lagi di pandang sebagai sumber utama "kayu haram" dalam perdangana kayu internasional.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/02/sistem-verifikasi-untuk-pencegahan-kayu-ilegal
Comments
Post a Comment